Beberapa kali aku mendaki gunung, bukan mendaki,
lebih tepatnya jalan – jalan ke gunung, sekedar untuk melihat sunrise. Aku
pernah melihat sunrise di Pegunungan dieng, gunung ungaran dan gunung Lawu.
Tapi aku bukanlah anak gunung ataupun pecinta alam, aku hanya ingin ikut
merasakan apa yang mereka rasakan, melihat sunrise dengan hawa dingin dipuncak
gunung memang memberi kesan tersendiri bahkan bisa membuat seseorang ketagihan.
Tapi bagiku yang menarik bukanlah sunrise dan hawa
dinginnya, tetapi karakter orang – orangnya. Ya, aku bisa merasakan dan menilai
beberapa karakter orang ketika seseorang naik gunung dan sampai kepuncak. Ada
yang biasa – biasa saja, Ada yang sok – sokan, ada yang sombong, dll. Aku dan
rombonganku pernah berpapasan dengan rombongan warga lokal yang sedang membawa
kayu di punggungnya, seketika muncul pertanyaan “kira – kira apa yang
dipikirkan oleh rombongan warga lokal ketika melihat kami yang memakai jaket
tebal, sepatu boot, membawa tas besar dan peralatan lengkap?”. Warga lokal yang
memikul kayu, hanya membawa minum, berpakaian tipis dan bersandal mungkin
menilai kami lebay dan manja.
Hal ini sama dengan yang
aku temui ketika aku bermalam di bumiayu, brebes. Berbincang dengan warga sana,
sedikit terhenyak ketika warga bercerita tentang naik sampai puncak gunung
Slamet hanya berbekal sebotol air minum. Begitupula salah satu temanku di
semarang yang kalau malam minggu kadang muncak gunung ungaran dengan hanya
berbekal air minum, tanpa perlengkapan dan tanpa tenda. Dari beberapa momen
tersebut akupun belajar bahwa apapun yang kita lakukan pada hakekatnya adalah Biasa
Saja, tak perlu rendah diri/minder dan tak perlu sombong. Seperti lagunya
Suparman is dead “Muda, Beda dan Biasa Saja”. :)
Waktu gueh sampai puncak Lawu |
0 Response to "Gunung dan Pendakinya"
Posting Komentar