Kisah Santri yang Bersambung


..Cerita ini bukan saya yang buat, sekedar mengcopypaste berharap dapat saya baca sewaktu -waktu..
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
#1

Ada seorang calon santri mau mengaji pada kiai, tdk tanggung2 dia ingin berguru langsung pada seorang kiai besar. Maka didatangilah sebuah pondok yg terkenal dengan santri berjumlah ribuan dan bergedung megah. Semula dia takjub, tp ada yg kurang ia rasa. Di pondok sebesar ini jarang ia bertemu dengan kiai pengasuh, hanya kelas dan ustadz2, darimana ia bisa belajar pada sang kiai kalau begini caranya.

Maka dengan sekian usaha, dia berusaha bertemu kiai di rumahnya. Dan saat ia bertemu, sang kiai sedang bersantai di rumahnya yg wah. Sofa mahal, tv besar, mobil mengkilap, karpet empuk, tamu banyak, dan dia dianggap lancang masuk ke area terlarang itu, tak boleh sembarang orang bisa ketemu kiai pondok ini.

Maka si santri ini hilang semangat. Ia nyaris tak percaya ada kiai besar yg bisa dijadikan guru. Hingga seorang ustadz memberinya alamat seorang kiai sepuh.

Sang santri mencari, bertemu di pojok desa, ndak ada pondok, cuma gubuk, yg berisi sepasang suami istri dan dua anak, keluarga petani sederhana.


Sang santri terperanjat, semula ia sempat merasa dibohongi ustadz'nya hingga pak tua itu berkata, "Kalau mau tinggal di sini boleh, simbah ada empang kecil, sawah sepetak, dan kebun sayur sehamparan di halaman belakang. Jadi kita gak mungkin kelaparan, asal kita mau mengolah apa yg kita punya itu,,,"

Itu pelajaran pertama sang santri.

Dengan mantap si santri memilih ngenger dengan kiai petani sepuh ini... 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#2

,,,, ketika masih enak tidur di malam pertama ikut sang kiai petani, si santri dibangunkan oleh anak ragil kiai.

"Aku sudah subuhan tadi, apa Gus tdk lihat tadi?!"

"Ini bukan tentang sholat, ini tentang hidup, katanya kau ingin belajar, maka bangunlah,,,"

"Hoaammmzzz...... aku masih ngantuk,,,"

"Kalau hanya mau tidur, jangan di sini, di asrama pondok besar yg kau ikuti sana lebih enak kasurnya, atau kau pulang ke rumahmu, kasurnya berbusa tebal dan lebih nyaman drpd tikar pandan di rumah ini,,,"

"Hmmm, baiklah, aku bangun, apa tugas belajarku Gus?!"

"Cepat mandi, setelah itu kita ke sawah, kerja,,,!!"

"Hah...??? Itu pelajaran???"

"Ya, kerja itu kurikulum dasar di sini, kau masih ingat kemarin kan,, apa yg kita punya, kita olah, kalau kau tak mau tak mengapa,, kita tak pernah memaksa,,,"

"Baiklah, aku masih kuat, aku ikut saja!"

"Setelah di sawah nanti, kita akan menanam bibit padi, sebisa mungkin jangan banyak tanya, amati dan lakukan bagian yg paling mungkin kamu kerjakan, itu saja!"

"Siap Gus,,,!"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#3

Masuk hari ketiga, si santri sesudah subuh tak tidur lagi, setelah ngaji sedikit di surau, ia langsung mengisi bak mandi rumah kiai.

Setelah mandi, dia siap sarapan seperti pagi kemarin. Tapi naga2nya tak ada makanan yg disiapkan bu nyai.

"Kita puasa daud ngger, kalau mau makan, itu ada sisa nasi semalam, dengan tempe apek selembar! Kalau mau masak boleh ngger, ini ada telur,bisa digoreng, atau kamu mau menanak nasi juga bisa,,,"

Tawar bu nyai yg ditolak si santri.

Si santri memilih makan nasi dingin sisa semalam dan selembar tempe apek dan segelas air putih.

Dia makan sambil menangis.

Di dalam hatinya dia gundah, ini pesantren ala apa? Kurikulumnya kepahitan, pelajarannya kerja keras, gurunya kehidupan, jam belajarnya ia yg menentukan?

"Kalau tak betah boleh pulang ngger,,"

"Oh, enggak bunyai,,,"

"Maklum, orang kota kan punya banyak standar ttg hidup, jd ketika ketemu keterbatasan sedikit saja mereka sudah menganggap itu masalah besar. Karena mrk tak menyiapkan pasal ttg penderitaan dalam hidupnya. Pokoknya gimana hrs selalu senang dan bahagia. Hanya itu saja."

Omongan bunyai bikin aku menghentikan makan sejenak. Beliau jelas menyindir, tapi kebenarannya tak bisa aku tolak.

"Lalu orang2 kota itu menyusahkan diri dgn standar hidupnya ; hrs berpendidikan tinggi, kerja bagus, uang banyak, rumah mewah, mobil mengkilap, liburan teragendakan, dst, sambil mereka tak berpikir, setiap ongkos kebahagiaan yg mrk dapatkan itu membutuhkan perjuangan yg tak sedikit, sehingga jarang mrk menghadirkan Tuhan, kecuali di acara2 seremoni,,,"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#4

Sama dengan kemarin, aku memilih makan seadanya. Jika keluarga yai petani ini memilih puasa Daud, aku belum memilih puasa apapun.

Dan ketika sebelum pergi ke sawah, aku bertanya pada sang kiai petani,,,

"Mbah, apa syarat puasa itu?!"

"Dia bisa tapi memilih tidak, ngger,,,"

"Kalau saya ini sudah berhak berpuasa sunah senin kamis belum mbah?!"

"Belum ngger, dirimu itu jangan berpuasa dulu, penuhi dulu kebutuhanmu, baik rohani maupun jasad, kalau kamu sudah tenang, sudah aman kebutuhanmu, barulah kamu menentukan puasa/tidak,,,"

"Kalau aku tetap memilih puasa senin kamis mbah?!"

"Ndak apa2, ttp jadi pahala mungkin, tp puasanya gak hasil, gak ngaruh, gak jadi apa2 ke jiwa kamu, sebab kosong muatan, sebab prestasinya cuma ndak makan ama minum, udah,,,"

"Tapi kan fiqh gak menuntut banyak mbah, yang penting kita sahur, tahan makan minum hingga senja, selesai,,,"

"Ya silahkan puasa fiqh ngger, kalau mbah puasa itu ya puasa, fiqh itu cuma alat bantu teknis, mbah puasanya sepanjang hayat ngger, ndak pernah sahur apalagi berbuka,,,"

"Maksudnya mbah?!"

"Ndak ada maksud apa2, sudah sekarang kerjakan saja apa yg kamu bisa, jangan mengurusi yg kamu belum bisa, kalau kamu bisanya saat ini cuma diam, lakukan itu saja sudah bagus, sambil diolah di dalam sana apa yg kita bicarakan td, jangan maunya disuap melulu, tanya melulu, nanti yg kamu tahu cuma wawasan pengalamanku, bukan pencarianmu sendiri ngger,,,"

"Iya mbah,"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#5

Masih di awal minggu rumah yai petani, entah karena keletihan atau karena memang sudah waktunya, aku sakit, badanku lemas, demam.

Yai petani menyuruhku istirahat saja. Bunyai merawatku.

"Tubuhmu itu masih manja,,," kata bu nyai.

Aku terdiam.

"Atau bisa jadi ini penyesuaian, karena apa yg dihadapi ini masih baru buatmu. Terlalu lama jadi orang kota, tak terbiasa meladang dan kerja keras, membuat pikiranmu memberontak atas ketidaknyamanan ini. Sementara hatimu berusaha meyakinkan bahwa pilihanmu di sini tepat. Nah, tumbukan antara pikiran dan hatimu ini yg menyebabkan badanmu tidak siap,,"

"Memangnya ada tho bunyai, sakit itu bukan semata dari virus atau semata turunnya ketahanan tubuh?"

"Kalau kamu belajarnya cuma dr medis, sakit itu meluku fisik, tp kalau kamu belajar jiwa, badan, akal, pikiran, dan hati, sakit itu kompleks ngger. Datangnya bisa macam2, tdk melulu dua hal yg kamu bilang td. Dunia kedokteran pun mengakui bahwa pikiran membentuk badan, bahwa pasien yg berkeinginan kesembuhan yg kuat, maka yg terjadi demikian dibanding pasien yg tak mmlk semangat untuk segera sehat,,,"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#6

Badanku sudah enak, aku bisa ke ladang lagi. Menjalani kurikulum utama ; kerja keras.

Aku masih mencari alasan yai petani, mengapa hrs bekerja keras? Kalau hanya ingin uang banyak, yai petani bisa buka pesantren yg menerima uang parpol, bukan hidup diujung desa sepi ini.

"Pikiranmu itu masih tertipu kulit luar ngger,," suara petani membuatku terkejut, dia bisa membaca pikiranku.

"Kau membuat banyak tuntutan ngger, kalau kerja keras berarti cari kaya, kalau punya uang banyak pasti bahagia, kalau terkenal jelas menyenangkan,,," lanjut yai petani.

"Lalu untuk apa kerja keras kalau bukan untuk cari uang banyak yai?!"

"Kamu pikir setiap orang tua pasti menuntut anaknya? Tuhan menuntut hambaNya? Matahari menuntut sinarnya? Ndak tho. Semua hanya memberi. Begitupun dalam hidup, kau bisa melakukan pemberian tanpa menuntut kembalian. Kerja keras itu pemberianku pd hidup ngger,,,"

"Untuk apa?!"

"Untuk kewajaran hidup,, itu bentuk syukurku pada alam dan Tuhan,,"

"Walau dengan itu tak menjadi kaya?!"

"Kata siapa kerja keras harus berbuntut kaya ngger, kata para motivator itu? Yg menjual mimpi2 dunia, yg menjadikan hidup punya target2, dan kerja untuk mengejar target, rumah, mobil, liburan ke luar negeri, dsb itu? Untuk apa semua itu?!"

"Untuk kebahagiaan mungkin yai,,"

"Kebahagiaan itu di dalam sini ngger, di keringat yg menetes ke bumi, bukan di benda duniawi, kalau hanya materi itu semakin kau mengejar, semakin lelah, semakin terasing kau nantinya ngger, hanya tinggal menunggu datangnya satu malam saat kau tersentak, untuk apa semua ini? Tanpa ketenangan hati,,"
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 #7

Dulu, sebelum ikut yai petani, aku masih bisa merasakan hari minggu. Saat sempat mampir di pesantren pun aku masih bertemu jum'at. Dua macam hari libur, yg kegiatannya sama ; males2an, beres2 kerjaan, dan belanja. 

Di desa ini tidak ada tempat bagi pemalas, beres2 adalah kegiatan rutin senggang harian, dan ke ladang ada saja kerjaan.

Selalu sama, pergi pagi pulang sore.

Kecuali jum'at, hanya sampai siang.

Yai petani mengajarkan aku kalau lelah fisik, ganti kerja pikiran, kalau lelah kerja pikiran, ganti kerja fisik, begitu terus hingga tubuh lelah dan otomatis tidur.

Pasti nyenyak, tak sempat gelisah apalagi insomnia. Sebab aku baru menyadari pola yg yai petani ajarkan ini sangat efektif, pikiranku dulu yg berkhayal kemana2 skrg mulai teratur, aku bisa merenungkan banyak hal, diskusi bersama mas barep, ngobrol hidup dengan bunyai dan dapat ilmu gaib dari yai petani.

Kenapa ilmu gaib?

Sebab yai petani memberi aku kebebasan melakukan apapun,, dia tak pernah melarang, tak pernah menyuruh, tak pernah membenarkan apalagi menyalahkan, namun yai petani siap menjawab apapun yang aku tanyakan padanya.

Dari kebebasan ini aku justru belajar apa itu batasan, dari sikap yai aku tahu bahwa komunikasi bisa dilakukan dengan cara diam, dan aku mendapat banyak kandungan ilmu dgn cara serius menjalani kehidupan,,,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

#8

Aku sudah mulai terbiasa bekerja di ladang,, hingga hari ini yai petani memerintahkan agar aku tak ke ladang dulu.

"Kau orang kota ngger, dan kau belum memilih mau menjadi petani atau tidak, maka ketika kamu sudah mulai menikmati proses ini, kamu harus stop dulu, biar berjarak,,"

"Terus aku hari ini ngapain yai?"

"Terserah ngger, tdk semua hrs menunggu intruksiku, ini bukan barak militer, dimana kamu harus patuh atas setiap perintahku,,"

"Bukankah ketaatan itu diperlukan yai?!"

"Iya, tp sedikit saja, dan fase itu sudah selesai, skrg kamu hrs patuh untuk tdk patuh terhadapku,, mulai hari ini kamu yg menentukan mau ngapain di sini, kamu yg nyusun keperluanmu, aku cuma mengawal di depan saja,, kelak kamu berjalan di jalanmu sendiri,,"

"Apa setiap orang terkutuk untuk menjalani prosesnya sendiri yai?!"

"Ya, mrk hidup di rahim sendiri, lahir sendiri, di kuburan sendiri, dan menempuh shiratal mustaqiem juga sendiri,, jikapun mau cari teman, jadikan Tuhan dan Muhammad sang Rasul cahaya saja sebagai kawan,, sebagai penerang,, sebagai penunjuk dalam jalanmu,, sudah itu saja cukup,,"

*bersambung,,,

------------------------------------------------------------------




*sumber : MN

1 Response to "Kisah Santri yang Bersambung"